Perempuan masih kebingungan akan minimnya ruang aman. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dalam ranah personal yang tercatat di lembaga layanan mencapai 2.363 kasus pada 2021 dan yang paling mendominasi adalah kasus pemerkosaan.
Kalau kita lihat lagi, pada tahun pandemi kasus kekerasan seksual masih tinggi, padahal kita semua membatasi ruang publik karena adanya regulasi pemerintah guna meminimalisir Covid-19. Namun, mengurangi aktivitas dan kerumunan masyarakat tidak menjamin akan ruang para perempuan bebas dari pelecehan seksual.
Pernyataan diatas dipertajam dengan hasil survey yang dirilis Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) mengenai pelecehan seksual di ruang publik selama pandemi Covid-19. Survei yang mengambil sampel 4.236 responden dari 34 provinsi di Indonesia tersebut mendapati bahwa 78,89 persen perempuan mengalami pelecehan. Angka paling banyak.
Dari analisis data survei yang diikuti oleh lebih dari 4 ribu orang yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia, KRPA menemukan, 4 dari 5 perempuan mengalami pelecehan seksual selama pandemi, dan 3 dari 10 laki-laki mengalami pelecehan seksual. Selain itu, 83% responden gender lainnya (non-binary, transpuan, transpria, dan identitas gender lainnya) menjadi korban.
Pelecehan seksual terbanyak terjadi di ruang publik fisik (offline) dan meluas hingga ke ruang digital (daring/online). Responden yang mengalami pelecehan seksual mengungkapkan, mereka paling sering mengalami pelecehan seksual di 5 lokasi. Pertama, tertinggi yaitu ruang publik seperti jalanan umum atau taman (70% responden). Kedua, kawasan pemukiman (26% responden). Ketiga, transportasi umum, termasuk sarana dan prasarananya (23% responden). Keempat, toko, mall, dan pusat perbelanjaan (14% responden), dan kelima, tempat kerja (12% responden).
Sementara itu, di ranah digital/online, pelecehan seksual paling tinggi terjadi di lima ruang daring yaitu media sosial (42% responden), aplikasi chat (33% responden), aplikasi kencan daring (9% responden), ruang permainan virtual (4% responden), dan ruang diskusi virtual (2%) responden.
Hal ini mematahkan semua steriotipe bahwa perempuan yang rentan terkena pelecehan seksual adalah perempuan yang memakai baju terbuka, keluar malam malam, bahkan pelecehan yang hanya terjadi di tempat sepi.
Kalau sudah begini siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Semua orang. Jangan semua hanya dibebankan kepada perempuan untuk terus menerus menjaga dirinya, disaat perempuan sudah menjaga dirinya alih alih dapat keamanan malah dapat ancaman entah dari orang – orang di internet bahkan keluarga sekalipun.
Di ibu kota Jakarta dan sekitarnya, persentase pelecehan seksual di ruang publik memang terbilang tinggi karena mobilitas masyarakatnya. Merespon hal tersebut, Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) menginisiasi pembuatan pos SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak) di beberapa halte Trans Jakarta, MRT, LRT dan perguruan tinggi, juga pos di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Hal-hal demikian dilakukan karena keseriusan menganggap pelecehan seksual adalah isu besar yang harus dikawal bersama.
Sudah saatnya kita perpegang teguh pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke 5 dan 16 tentang Kesetaraan Gender, Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh. Bahwa kita harus bisa menciptakan ruang aman terhadap siapapun khususnya perempuan. Menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di ranah publik dan privat, termasuk perdagangan manusia dan seksual serta jenis eksploitasi lainnya merupakan salah satu target dari Sustainable Development Goals (SDGs).