Menu Tutup

Pada Suatu Pagi di Akhir Pekan

Fritz Akhmad Nuzir 

Ayu adalah seorang pemudi seperti kebanyakan generasi masa depan Indonesia yang meramaikan era digital saat ini. Pada suatu pagi di akhir pekan, Ayu sedang duduk santai di ruang keluarga. Sementara ibunya terlihat sibuk di pantry dekat meja makan sambil mendengarkan dan sesekali menyimak siaran berita di televisi. Awalnya pandangan Ayu hanya terpaku pada gawai yang ada di tangannya, berpindah-pindah dari satu media sosial ke media sosial lainnya. Tiba-tiba perhatiannya teralih pada siaran berita di televisi tentang liputan kegiatan COP26 di Glasgow, Skotlandia. Sejenak Ayu menyimak liputan tersebut sebelum kemudian bertanya kepada ibunya. 

“Bu, itu Pak Jokowi bicara tentang apa ya bu? Sepertinya penting sekali.”, tanya Ayu kepada ibunya yang juga mendengarkan liputan tersebut. Sambil tetap berkonsentrasi dalam menyiapkan sarapan pagi, sang ibu menjawab pertanyaan putrinya tersebut.  

“Oh itu beliau menyampaikan progres dan pencapaian Indonesia dalam manajemen sumber daya alamnya. Pernyataan Presiden Jokowi pada COP26 bahwa deforestasi dan kebakaran hutan di Indonesia turun sebanyak 82% merupakan kabar yang sangat baik bagi perkembangan pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan yang berkelanjutan di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat telah melakukan upaya-upaya yang optimal dan efektif dalam mengurangi laju deforestasi dan kebakaran hutan. Salah satunya tentu terkait dengan penegakan hukum guna melindungi upaya pelestarian hutan terutama hutan konservasi dan menindak dengan tegas segala penyalahgunaan kawasan hutan.”, jelas Ibu sambil tersenyum sebelum melanjutkan. 

“Selama ini pembalakan hutan secara liar merupakan salah satu penyebab deforestasi sekaligus faktor utama yang menghambat perkembangan pengelolaan hutan berkelanjutan. Penebangan pohon-pohon di hutan secara sembarangan dapat mengurangi kesuburan tanah di kawasan hutan, menyebabkan menurunnya sumber daya air, dan mengancam keanekaragaman hayati. Motivasi keuntungan ekonomi oknum individu, kelompok orang, atau perusahaan seringkali ditengarai sebagai hal yang melatarbelakangi penebangan hutan secara liar.” 

Mendengar penjelasan ibunya tersebut, Ayu semakin penasaran. Gawai yang ada di tangannya kemudian diletakkan di atas meja. Pertanyaan selanjutnya keluar dari mulutnya. 

“Apa permasalahannya hanya ada di hutan-hutan kita, Bu? Bagaimana dengan sungai-sungai kita? Laut-laut kita?” 

Sang ibu tertegun dan berfikir sejenak lalu menjawab dengan lembut. 

“Tak jauh berbeda yang terjadi di perairan kita. Demi mendapatkan hasil tangkapan yang banyak seringkali oknum-oknum penangkap ikan menggunakan peralatan yang dapat merusak ekosistem lautan. Bahkan kemudian sering terjadi over-fishing akibat diabaikannya batasan-batasan ekologis baik secara jumlah maupun wilayah dalam menangkap ikan. Lemahnya pengawasan dan juga pendataan secara kuantitatif terhadap sumber daya perikanan yang ada di wilayah lautan Indonesia merupakan tantangan utama yang terkait dengan permasalahan di atas. Sehingga saat ini pengembangan perikanan berkelanjutan memberikan penekanan terhadap pentingnya teknologi informasi dan database sumber daya perikanan yang dapat digunakan sebagai alat bantu utama untuk penegakan hukum dan pengawasan. Untuk itu diperlukan inovasi dan investasi terhadap infrastruktur perairan begitu juga dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusianya.” 

Ibu berhenti menjawab dan mulai menata piring-piring di meja makan. Tampak semakin jelas raut ingin tahu dari wajah Ayu yang duduk di sofa tak jauh dari meja makan. 

“Ternyata dalam pemanfaatan hutan dan perairan kita juga banyak terjadi tindakan-tindakan yang merusak lingkungan ya, Bu? Bagaimana dengan kegiatan pertambangan? Ayu fikir kerusakan sumber daya alam kita lebih banyak terjadi dalam kegiatan pertambangan.”, cecar Ayu sambil beranjak dari sofa dan mulai membantu ibunya menata meja makan. 

“Ayu benar. Pada sektor pertambangan, praktik pertambangan di Indonesia pada umumnya masih belum dapat mengantisipasi resiko lingkungan dan sosial. Hal ini dapat dilihat masih terdapatnya jumlah emisi CO2 yang sangat besar. Juga adanya limbah air yang notabene jumlahnya mencapai tiga kali lipat dari jumlah minyak yang dihasilkan. Belum lagi bisa praktik umum persiapan lahan yang masih harus menebang pohon-pohon yang berada di kawasan hutan agar terbentuk lahan terbuka yang besar untuk dapat menampung mesin-mesin yang digunakan untuk ekstraksi minyak. Dan yang paling berbahaya terhadap lingkungan dan juga manusianya adalah bahan-bahan berbahaya yang masih digunakan dalam kegiatan pertambangan. Selain resiko lingkungan, ada juga resiko sosial yang dihasilkan seperti keselamatan dan kesehatan pekerja, kesetaraan gender, pekerja paksa, dan konflik dengan masyarakat sekitar. Melihat ini semua, pertambangan di Indonesia mungkin dapat dianalogikan sebagai fenomena kapal keruk yang mengambil semua yang dalam jangkauan yaitu keseimbangan lingkungan dan sosial.”, jawab Ibu dengan sabar meladeni pertanyaan Ayu yang datang bertubi-tubi. 

Ayu terdiam dan mencoba memahami apa yang dijelaskan ibunya. Tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi dari gawainya yang ditinggalkan di atas meja.  

“Wah, lowbat!”, teriaknya sambil bergegas mengambil gawainya tersebut dan langsung memasang kabel charger pada gawainya. Hampir saja piring dan gelas yang sedang disusun berjatuhan karena gerakan Ayu yang tiba-tiba. Ibu geleng-geleng melihat tingkah laku Ayu yang sepertinya tidak bisa lepas dari gawainya. Dengan berhati-hati, Ibu melanjutkan pembicaraan mereka pagi itu. 

“Ayu sadar apa yang baru saja Ayu lakukan terkait juga dengan manajemen sumber daya alam kita?”, sekarang Ibu ganti bertanya. Ayu menggeleng kebingungan. 

“Ketika Ayu mengisi ulang gawai itu maka pada saat itu juga Ayu menjadi pengguna energi. Energi adalah sesuatu yang kita butuhkan dalam setiap aktivitas kita di kehidupan sehari-hari. Mulai dari aktivitas kita di rumah sampai kepada aktivitas dalam pekerjaan kita. Apalagi di era teknologi informasi di mana energi tidak hanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, tetapi juga menjadi bagian dari pemenuhan gaya hidup. Namun kita harus sadar bahwa energi tidak muncul dengan sendirinya. Energi perlu dibangkitkan dan untuk itu diperlukan bahan yang dapat diproses untuk menghasilkan energi. Sampai saat ini sebagian besar bahan yang digunakan masihlah berupa sumber daya alam yang dapat habis dan tidak terbarukan. Lebih dari 80% merupakan olahan dari minyak bumi, batubara, dan gas alam. Di sinilah pangkal dari masalahnya.”, Ibu berhenti sejenak, menghela nafas, sebelum melanjutkan. Ayu terlihat memperhatikan dengan sungguh-sungguh. 

“Sebuah paradoks ketika energi menjadi sesuatu yang menjaga kehidupan manusia, akan tetapi untuk mendapatkan energi, manusia masih harus mengorbankan keberlanjutan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu penggunaan energi baru dan terbarukan adalah suatu keharusan tanpa bisa ditawar. Energi yang bersumber dari tenaga air, surya, angin, arus laut, sampah, dan sumber terbarukan lainnya perlu segera dihadirkan dalam kehidupan kita. Pemerintah wajib menyediakan infrastrukturnya sementara masyarakat dan industri wajib pula mengubah orientasi dan preferensinya yang saat ini masih bergantung pada energi fosil. Ketika dulu Brundtland mendefinisikan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang tidak mengorbankan generasi masa depan, maka ejawantah yang utama adalah pada penggunaan energi baru dan terbarukan.” 

Ketika Ibu berhenti menjelaskan dan mulai menuangkan air putih ke dalam gelas-gelas yang telah disusun di atas meja, Ayu terlihat mulai ingin protes. Namun sebelum sempat Ayu berbicara, dari arah kamar terdengar suara Ayah yang tegas tapi terdengar santai. 

“Sebenarnya, perspektif yang terpenting dalam manajemen sumber daya alam justru bersumber pada keseharian kita. Pada gaya hidup kita. Bagaimana kita memproduksi sesuatu dan mengkonsumsinya secara bertanggung jawab. Kita sadar betul dalam proses produksi berarti kita mengeksploitasi suatu sumber daya alam untuk kemudian ditambahkan nilai dan fungsi kepadanya.  Sedangkan sebagai suatu sumber daya alam, pada hakikatnya ia adalah bagian dari alam. Dan pada alam tentunya ada peranan-peranannya yang tak tergantikan sebagai bagian dari siklus alami. Wajib hukumnya bagi para pihak yang terkait dalam proses produksi untuk menghargai dan menjaga siklus alami ini. Sistem produksi yang berkelanjutan dan penggunaan energi bersih adalah salah dua pendekatan yang penting untuk diterapkan dan terus dikembangkan keberhasilannya.” 

Terlihat sosok Ayah berjalan perlahan keluar dari kamar dan kemudian duduk di salah satu kursi yang berjajar di meja makan. Tangan kanannya kemudian mengambil segelas kopi dan segera meneguk isinya. Ayah terlihat sangat menikmati tegukan pertama kopi tersebut, sementara Ayu dan Ibu seperti menantikan lanjutan dari ucapan Ayah. Benar saja, tak lama Ayah melanjutkan.  

“Di sisi yang lain sebagai warga dunia, kita juga dituntut untuk dapat mengubah gaya hidup kita. Jika tidak maka kita mungkin perlu berharap bahwa konsep multiverse yang ada dalam film-film Marvel menjadi kenyataan. Karena kita perlu ada sekurang-kurangnya tiga bumi untuk menyediakan sumber daya alam yang kita butuhkan dengan gaya hidup saat ini. Konsep dasar 3R (Reduce-ReuseRecyle) sudah saatnya benar-benar diterapkan oleh semua orang tanpa terkecuali, bukan lagi sekedar dicatut untuk nama program atau kegiatan agar terlihat “ramah lingkungan”. Jika 3R benar-benar dapat diterapkan dalam keseharian, maka pola konsumsi kita akan lebih bertanggung jawab.” 

“Kita akan sadar untuk mengurangi penggunaan barang-barang secara berlebihan yang tentunya berujung kepada pengurangan sampah yang dihasilkan. Kita juga akan sadar bahwa beberapa barang memiliki masa hidup yang lama atau malah tidak dapat hilang dari bumi ini dan memiliki potensi penggunaan tambahan sehingga masih bisa dipergunakan kembali walau dengan penyesuaian. Dan kita juga akan mengerti bahwa yang kita anggap sebagai sampah pun masih memiliki nilai. Dengan mengutamakan proses daur ulang kita tentunya bisa mencapai kondisi zerowaste. Daur ulang ini juga merupakan prinsip terpenting dalam paradigma Circular Economy yang sudah saatnya untuk diterapkan.” 

“Ayah sok tahu! Emangnya Ayah pernah nonton film Marvel? Hahaha!”, tukas Ayu memotong pembicaraan Ayahnya sambil bercanda. Ibu ikut tertawa, sementara Ayah hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.  

“Sudah deh. Ayo Bu kita mulai sarapan. Ayah sudah lapar nih. Sudah enggak sabar ingin segera makan nasi goreng spesial buatan Ibu. Ayu habisin nasi gorengnya ya. Jangan ada yang sisa dan jadi sampah. Saatnya me-reduce, reuse, recycle nasi goreng, haha!”  

“Siap, Ayah!”, jawab Ayu dan Ibunya serentak sambil tersenyum geli.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *